Wednesday 25 October 2017

Membongkar Istilah “Sibak Rukok Teuk” dan Wacana Kemerdekaan

        Pergerakan perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), terhadap pemerintah Republik Indonesia (RI). Motif Etnonasionalisme dalam merubah gagasan dasar konstruksi pemikiran rakyat Aceh. Untuk melawan, mendapatkan keadilan yang dianggap sentralistik. Istilah “Sibak Rukok Teuk Aceh Ka Merdeka” (bahasa Indonesia; Satu batang rokok lagi Aceh Akan Merdeka). Jargon yang penuh harapan Sebuah wacana transfer of sovereignty, authority. dari Pemerintah Indonesia untuk Nanggroe Aceh Merdeka, di pelopori oleh TgK. Hasan Muhammad Di Tiro, pada tahun 1976. Sebuah wacana kemerdekaan (manifesto) perjuangan politik seolah  tangan tak sampai. Pergerakan GAM berakhir dengan sebuah perdamain, dan kembali pada pangkuan ibu pertiwi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Meminjam kesaksian Hegel, dalam The Phenomenologi Of Mind “hanya dengan mengambil resiko hiduplah kebebasan dapat dicapai”. Bagaimana sosok Hasan Tiro, dengan keberanian ia mampu mempengaruhi, dan membangun sebuah konstruksi pergerakan Aceh Merdeka.
            Perubahan konstrusksi pemikiran rakyat Aceh. Yang ketika itu, mempercayai Hasan Tiro sebagai juru penyelamat dalam memimpin sebuah pergerakan (clan) etnonasionalisme. Jargon “Sibak Rukok Teuk” menjadikan sebuah intonasi bahasa yang sering terucapkan, sang pimpinan Hasan Tiro dipercaya seolah punya atau dianugerahi kekuatan ghaib sehingga akan memperoleh sebuah kemenangan sebagai raja adil, yang akan menebarkan sebuah keadilan ditengah ketimpangan sosial rakyat Aceh ketika itu. Wacana kemerdekaan Aceh, memikat sebuah harapan akan keinginan yang ditunggu oleh seluruh rakyat, sehingga istilah sibak rukok teuk perlu untuk segera terjawab.
            Menguak makna tesk sibak rukok teuk dalam implikasi yang nyata, antara istilah dan realita. Teks adalah wacana yang sudah terpateri di dalam tulisan. Ferdinand De Saussure membedakan antara langue (Bahasa) dan Parole (Wacana). Atas dasar perbedaan ini, Paul Ricoeur, mendefinisikan apa yang disebutkan wacana dengan dibedakan dari bahasa. Di dalam wacana ada empat unsur yang membentuk (Ricoer, 1986: 184): pertama, ada subyek yang menyatakan; kedua, isi pernyataan atau proposisi yang merupakan dunia atau wahana yang mau digambarkan atau dipresentasikan; ketiga, kepada siapa pernyataan itu mau disampaikan; dan keempat, terkait dengan temporalitas, artinya konteks waktu penyampaian pernyataan itu.
            Terpaterinya antara Istilah Sibak rukok teuk dan wacana kemardekaan Aceh, seolah begitu gampang. Jargon ini diciptakan oleh para pergerakan, untuk menyakinkan rakyat bahwa, perjuangan GAM dalam secepat mungkin, akan menghasilkan jerih yang manis, lepas dari NKRI. Analisis empat unsur yang disampaikan Ricoer dengan jargon sibak rukok teuk terjawab dengan sebuah hipotesis. GAM menyampaikan kepada rakyat Aceh, perjuangan mereka siap mengorbankan jiwa dan harta benda, untuk melawan dan siap berperang dengan Tentara Indonesia (TNI).
            Keberanian dan kegigihan Hasan Tiro, untuk berjanji kepada seluruh elemen masyarakat pada waktu itu. Hasan Tiro, mengisyaratkan perjuangan GAM bukan hanya sebatas perjuangan ekonomi dan sentralistik yang berakhir dengan begitu saja. Namun perjuangan GAM untuk mengembalikan Nasionalisme keacehan dan Neonasionalisme. Sejak itu pula Nasionalisme keacehan mulai tumbuh dan membekas dalam hati rakyat Aceh. Pasca pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989. Kemarahan rakyat Aceh terus terpecahkan oleh pelbagai kekejaman agresi militer TNI ketika itu, jatuhnya korban rakyat sipil, tingginya kasus penculikan dan orang hilang tanpa penyelesaian secara hukum, memuncakkan kemarahan besar rakyat Aceh untuk berpisah dari NKRI.  
            Pelaksanaan DOM, yang melibatkan puluhan batalion pasukan elit untuk menangkap sekitar 5.000 anggota GAM merupakan kampanye kontra pemberontakan terbesar sejak 1976 (Henny Lunsia, 2010). Kejatuhan korban dari rakyat sipil seakan hanya dibiarkan begitu saja. Upaya dan wacana pemahaman (verstehen) melalui penjelasan (erklaren) Hasan Tiro akan kemerdekaan Aceh, semakin solid, anggota GAM terus bertambah para warga sipil semakin menggugah untuk berpelukan dengan membantu para gerilyawan GAM demi membantu sebuah cita-cita bersama.
Idiologi Di Balik Panggung
            Ketika kekejaman aparat keamanan TNI terhadap warga sipil begitu sadis dan pilu, semangat patriotisme pemuda Aceh tumbuh dan berkembang secara frontallitas. Keinginan untuk memisahkan diri NKRI, dengan mengedepankan perjuangan Self Determination Right di hadapan dunia internasional semakin kuat dan nyata. Motif etnonasionalisme semakin mengental dengan doktrinasi untuk melupakan dan menggantikan idiologi. Aroma patriotisme kian meluas dengan cacian si PAI (Pengacau Agama Islam), dan kafee Indonesia jawa (kafir Indonesia jawa) lewat dakwah-dakwah panggung yang tersebar di setiap pelosok-pelosok Gampong saat itu.
            Dakwah panggung (ceramah) yang disampaikan oleh, para penceramah kondang yang disiapkan secara khusus oleh para petinggi GAM, mengundang ribuan audien masyarakat Aceh untuk mendengarkan, orasi politik perjuangan Aceh Merdeka, dengan harapan ingin mengubah mindset atau idiologi secara instan, agar patriotik tumbuh untuk melawan Republik Indonesia dalam proses sosialnya. Bentuk proses sosial yang mengarah (purposive) biasanya tak dapat diubah dan sering bersifat kumulatif. Setiap tahap yang berurutan berbeda dari tahap sebelumnya dan merupakan pengaruh gabungan dari sebelumnya. Masing-masing tahap terdahulu menyediakan syarat-syarat bagi tahap yang kemudian. Gagasan tentang proses yang tak dapat diubah itu menekankan pada kenyataan bahwa dalam kehidupan manusia terdapat kebutuhan yang tak dapat dipenuhi; pemikiran yang tak dapat tidak dipikirkan; perasaan yang tak dapat dirasakan; dan pengalaman yang tak dapat dialami meninggalakan bekas luka yang tak dapat dihapus kembali (Ada, 1990 dalam Piort Sztomka).
            Kemampuan seorang penceramah panggung, yang tegas dan lugas dalam dalam menyampaikan orasi politik perjuangan GAM, terus menambah semangat patriotik keacehan. Bukan hanya dirasakan oleh masyarakat dewasa saja, namun sudah terdoktrinasi pada perempuan, anak muda hingga pada anak-anak usia dini. Berdasarkan amatan penulis di kecamatan Nisam Aceh Utara, sebagai daerah basis persembunyian kombatan GAM Wilayah Pasee yang juga menjadi salah satu daerah tempat pelatihan GAM. Hampir semua masyarakat dulunya mempercayai bahwa Aceh sudah merdeka, dan psikologi anak Sekolah Dasar (SD) ingin mengenal dan bersama GAM, dari setiap perjumpaan, anak-anak selalu bersorak “Merdeka”. Bahkan mereka lebih mengenal bendera bitang bulan dan melupakan sang saka “Merah Putih”. Lebih lanjut mereka sukar menyanyikan lagu “perang sabi” ketimbang “Indonesia Raya” sebagai himne pengibaran bendera bintang bulan. Saat itu pula cita-cita mereka ingin menjadi anggota GAM, yang begitu gagah dengan senjata AK 56 dan AK 47 nya.
            Sikap patriotic, yang secara spontan muncul dari para pemuda Aceh. Menambah rasa kepercayaan diri oleh Hasan Tiro akan wacana kemerdekaan Aceh. Dan istilah “sibak rukok teuk” kian menjadi kenyataan. Para penceramah kondang, berhasil mengubah konstruksi pemikiran rakyat Aceh secara verbal dan heroik. Sehingga pergerakan GAM meluas begitu besar. Bagi Hasan Tiro, rakyat Aceh sudah sangat modern dengan sebuah pergerakan. Karena masyarakat yang sangat modern adalah masyarakat yang cenderung menjadi “masyarakat gerakan” (Neidhardt dan Rucht, 1991).
Strategi Dominasi
            Perjuangan GAM dengan jargon “sibak rukok teuk” akan mencapai wacana kemerdekaan, seolah tidak begitu payah. Para kombatan hidup dengan segala kemudahan, walaupun tidak ada kesempurnaan jika kemerdekaan belum direbutkan. Tersebarnya senjata pada seluruh anggota GAM di seluruh Aceh, menjadikan GAM semakin kuat dan berani, hingga mampu menguasai hampir seluruh daerah di Aceh; GAM menguasai seluruh informasi yang dapat menghubungkan ke seluruh daerah di Aceh; GAM juga menguasai kapital ekonomi lewat pajak nanggroe yang jumlahnya begitu besar. Selebihya, mereka mempunyanyi dorongan inmateril (modal sosial) dari masyarakat yang mereka tempati, membuat GAM tidak terusik dalam menjalankan strategi dan misinya. Dominasi inilah yang menjadikan GAM semakin susah untuk ditaklukkan oleh TNI.
            Terlebih perjuangan GAM. Hasan Tiro, juga menghubungkan dengan perjuangan ashabiyah. nyakni perjuangan membela agama dan tanah indatu bangsa Aceh, yang didalamnya ingin merebut kemerdekaan. Arena perjuangan kekuasaan merupakan lingkup hubungan kekuatan antara berbagai jenis modal atau, lebih tepatnya antara para pelaku yang memiliki jenis-jenis modal tertentu sehingga mampu mendominasi medan perjuangan yang terkait, dan yang perjuangannya semakin intensif meskipun nilai yang terkait dengan modal tersebut dipertanyakan, ketika keseimbangan yang sudah ditetapkan dalam medan perjuangan yang khas untuk reproduksi kekuasaan akan terancam (Bourdieu, 1994 dalam Haryatmoko).
            Strategi perjuangan yang diterapkan oleh GAM, sangat tergantung dengan besar kapital yang dimiliki dan juga struktur modal dalam posisi dominan cenderung memilih strategi mempertahankan etnonasionalisme, bentuk-bentuk kapital yang menjadi tumpunan kekuatan. Strategi ini digunakan untuk mendominasi pelbagai tindakan. Agar eksistensi GAM berjalan secara inklusif. Pajak nanggroe sebagai kapital ekonomi dalam meneruskan perjuangan, menjadi taruhan utama yang harus di pertahankan, demi menjaga kelangsungan hidup para anggota GAM.
            Kemampuan GAM mendominasi strategi bukan hanya pada kapital, strategi mendominasi dalam menguasai sistem pendidikan, masuknya mereka dalam dunia pendidikan. Membuat para guru menjadi ketakutan dalam mengajar berbagai mata pelajaran seperti PPKN dan Bahasa Indonesia. Pembakaran sekolah-sekolah umum, secara masal, menutup celah proses belajar transfer knnowlid (ilmu pengetahuan) oleh para guru tentang keIndonesiaan dan Pancasila. Kehendak strategi yang digunakan GAM agar generasi muda Aceh melupakan kebhinhekaan Indonesia. Impach dari strategi mendominasi ini mengakibatkan para guru hidup dalam sebuah tekanan mental. Disalah satu sisi, profesi guru diamanahkan oleh undang-undang negara Republik Indonesia. Namun, disisi yang lain mereka harus berhadapan dengan sebuah tantangan kematian.
            Dominasi strategi perang yang digencarkan GAM, setelah berhasil masuk dalam dunia pendidikan, siswa mulai beralih untuk belajar tentang GAM, mereka lebih senang dengan orang yang bersenjata. Beberapa daerah di Aceh saat itu sekolah harus diliburkan, dengan bermacam alasan nyakni, ada yang sekolahnya terbakar, guru dengan rasa takut tak berani mengajar dan para anak-anak tidak lagi datang ke sokalah, dengan alasan banyak kasus penculikan. Aceh terus berkecemuk dalam peperangan sejak pemberlakuan darurat militer di tahun 2003. GAM mulai sempit dalam pergerakan, ribuan TNI diterjunkan. Istilah “ sibak rukok teuk” dan wacana kemerdekaan Aceh semakin tidak menentukan. Kawanan GAM biasanya berada dipekarangan Gampong warga, saat itu berada di hutan belantara.
Menimbang Hasan Tiro
            Di tengah perang terus berkecemuk, istilah sibak rukok, bukan lagi sebuah harapan. Rakyat Aceh terdiam dalam peluru-peluru nyasar, harapan kemerdekaan mulai terhapuskan. Hanya perasaan ingin damai yang ditumbuhkan. Para korban terus berjatuhan. Namun peperangan bulum juga ada titik terang, rasa aman dan genjatan. Terhadap Hasan Tiro yang berjanji akan membawa Aceh pada ujung kemerdekaan, beliau berada di negeri seberang Swedia.
            Kesadaran rakyat untuk menerima kemerdekaan Aceh. rakyat mulai menimbang dengan kesadaran kolektif, kesadaran terjelma dengan sendirinya terutama dari aktor individual. Antonio Gidden menyebutkan “kemampuan untuk menyadari”. Manusia adalah agen yang memiliki tujuan, mempunyanyi alasan atas aktivitasnya, dan, jika ditanya, ia mampu menjelaskan alasannya secara terpisah, termasuk dengan kebohongannya (Ada, 1990 dalam Piort Sztomka).
            Hasan Tiro sosok yang paling diagungkan, kini masyarakat mempertanyakan, apa keputusan dan kebijakan yang beliau lakukan, seiring peperangan tidak kunjung selesai. Hanya harapan kedamaian yang terlukis dihati, dibandingkan besarnya rakyat sipil yang menjadi korban. Rakyat Aceh seolah hanya menerima harapan palsu yang dulunya cukup di agungkan. Perjuangan Aceh, hanya sebatas perang tanpa sebuah keberhasilan setelah menelan banyak korban. Hanya sebuah perdamaian yang berhasil dicapai.
            Setelah 30 tahun dalam keterasingan Hasan Tiro pulang, dan rakyat Aceh menyambutnya seolah seperti seorang pahlawan. Perjuangan Hasan Tiro berujung pada sebuah perdamaian, rakyat Aceh telah melupakan kemerdekaan, rakyat Aceh ingin hidup dalam perdamaian. Walau harus menelan ludah yang pernah dikeluarkan. Istilah “sibak rukok teuk” tertelan begitu saja. Neonasionalisme seolah tidak terdengar lagi, semua elemen memperkuat barisan untuk kembali Nasionalisme keindonesiaan sebagai idiologi yang sah dalam kesatuan NKRI. Dan Hasan Tiro pun menerima kembali kewarganegaraan Indonesia, tepat sehari sebelum beliau meninggal dunia di umur 84 tahun. Sejak itu pula kemerdekaan Aceh tidak lagi berkumandang dan semua kembali pada pangkuan ibu pertiwi.
                                                                                   
                                                                                                            Rizki Yunanda.


No comments:

Post a Comment

“Aceh” 15 dan 17 Agustus

“Jangan Tanyakan Apa Yang Negara Perbuat Untuk Anda, Tetapi Tanyakanalah Apa Yang Anda Perbuat Untuk Negara ”. Pernyataan Ini sering...