Pergerakan
perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), terhadap pemerintah Republik Indonesia
(RI). Motif Etnonasionalisme dalam merubah gagasan dasar konstruksi pemikiran rakyat
Aceh. Untuk melawan, mendapatkan keadilan yang dianggap sentralistik. Istilah “Sibak Rukok Teuk Aceh Ka Merdeka” (bahasa
Indonesia; Satu batang rokok lagi Aceh Akan Merdeka). Jargon yang penuh harapan Sebuah wacana transfer of sovereignty, authority. dari Pemerintah Indonesia untuk
Nanggroe Aceh Merdeka, di pelopori oleh TgK. Hasan Muhammad Di Tiro, pada tahun
1976. Sebuah wacana kemerdekaan (manifesto)
perjuangan politik seolah tangan tak
sampai. Pergerakan GAM berakhir dengan sebuah perdamain, dan kembali pada pangkuan
ibu pertiwi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Meminjam kesaksian
Hegel, dalam The Phenomenologi Of Mind
“hanya dengan mengambil resiko hiduplah kebebasan dapat dicapai”. Bagaimana
sosok Hasan Tiro, dengan keberanian ia mampu mempengaruhi, dan membangun sebuah
konstruksi pergerakan Aceh Merdeka.
Perubahan konstrusksi pemikiran
rakyat Aceh. Yang ketika itu, mempercayai Hasan Tiro sebagai juru penyelamat
dalam memimpin sebuah pergerakan (clan)
etnonasionalisme. Jargon “Sibak Rukok
Teuk” menjadikan sebuah intonasi bahasa yang sering terucapkan, sang
pimpinan Hasan Tiro dipercaya seolah punya atau dianugerahi kekuatan ghaib
sehingga akan memperoleh sebuah kemenangan sebagai raja adil, yang akan
menebarkan sebuah keadilan ditengah ketimpangan sosial rakyat Aceh ketika itu. Wacana
kemerdekaan Aceh, memikat sebuah harapan akan keinginan yang ditunggu oleh
seluruh rakyat, sehingga istilah sibak
rukok teuk perlu untuk segera terjawab.
Menguak makna tesk sibak rukok teuk dalam implikasi yang
nyata, antara istilah dan realita. Teks adalah wacana yang sudah terpateri di
dalam tulisan. Ferdinand De Saussure membedakan antara langue (Bahasa) dan Parole
(Wacana). Atas dasar perbedaan ini, Paul Ricoeur, mendefinisikan apa yang
disebutkan wacana dengan dibedakan dari bahasa. Di dalam wacana ada empat unsur
yang membentuk (Ricoer, 1986: 184): pertama, ada subyek yang menyatakan; kedua,
isi pernyataan atau proposisi yang merupakan dunia atau wahana yang mau
digambarkan atau dipresentasikan; ketiga, kepada siapa pernyataan itu mau
disampaikan; dan keempat, terkait dengan temporalitas, artinya konteks waktu
penyampaian pernyataan itu.
Terpaterinya antara Istilah Sibak rukok teuk dan wacana kemardekaan
Aceh, seolah begitu gampang. Jargon ini diciptakan oleh para pergerakan, untuk
menyakinkan rakyat bahwa, perjuangan GAM dalam secepat mungkin, akan
menghasilkan jerih yang manis, lepas dari NKRI. Analisis empat unsur yang
disampaikan Ricoer dengan jargon sibak
rukok teuk terjawab dengan sebuah hipotesis. GAM menyampaikan kepada rakyat
Aceh, perjuangan mereka siap mengorbankan jiwa dan harta benda, untuk melawan
dan siap berperang dengan Tentara Indonesia (TNI).
Keberanian dan kegigihan Hasan Tiro,
untuk berjanji kepada seluruh elemen masyarakat pada waktu itu. Hasan Tiro, mengisyaratkan
perjuangan GAM bukan hanya sebatas perjuangan ekonomi dan sentralistik yang
berakhir dengan begitu saja. Namun perjuangan GAM untuk mengembalikan Nasionalisme
keacehan dan Neonasionalisme. Sejak itu pula Nasionalisme keacehan mulai tumbuh
dan membekas dalam hati rakyat Aceh. Pasca pemberlakuan Daerah Operasi Militer
(DOM) pada tahun 1989. Kemarahan rakyat Aceh terus terpecahkan oleh pelbagai kekejaman
agresi militer TNI ketika itu, jatuhnya korban rakyat sipil, tingginya kasus
penculikan dan orang hilang tanpa penyelesaian secara hukum, memuncakkan
kemarahan besar rakyat Aceh untuk berpisah dari NKRI.
Pelaksanaan DOM, yang melibatkan
puluhan batalion pasukan elit untuk menangkap sekitar 5.000 anggota GAM
merupakan kampanye kontra pemberontakan terbesar sejak 1976 (Henny Lunsia, 2010).
Kejatuhan korban dari rakyat sipil seakan hanya dibiarkan begitu saja. Upaya
dan wacana pemahaman (verstehen)
melalui penjelasan (erklaren) Hasan
Tiro akan kemerdekaan Aceh, semakin solid, anggota GAM terus bertambah para
warga sipil semakin menggugah untuk berpelukan dengan membantu para gerilyawan
GAM demi membantu sebuah cita-cita bersama.
Idiologi Di Balik Panggung
Ketika
kekejaman aparat keamanan TNI terhadap warga sipil begitu sadis dan pilu, semangat
patriotisme pemuda Aceh tumbuh dan berkembang secara frontallitas. Keinginan
untuk memisahkan diri NKRI, dengan
mengedepankan perjuangan Self
Determination Right di hadapan dunia internasional semakin kuat dan nyata. Motif
etnonasionalisme semakin mengental dengan doktrinasi untuk melupakan dan
menggantikan idiologi. Aroma patriotisme kian meluas dengan cacian si PAI (Pengacau Agama Islam), dan kafee Indonesia jawa (kafir Indonesia
jawa) lewat dakwah-dakwah panggung yang tersebar di setiap pelosok-pelosok
Gampong saat itu.
Dakwah
panggung (ceramah) yang disampaikan oleh, para penceramah kondang yang
disiapkan secara khusus oleh para petinggi GAM, mengundang ribuan audien
masyarakat Aceh untuk mendengarkan, orasi politik perjuangan Aceh Merdeka,
dengan harapan ingin mengubah mindset atau idiologi secara instan, agar patriotik
tumbuh untuk melawan Republik Indonesia dalam proses sosialnya. Bentuk proses
sosial yang mengarah (purposive) biasanya
tak dapat diubah dan sering bersifat kumulatif. Setiap tahap yang berurutan
berbeda dari tahap sebelumnya dan merupakan pengaruh gabungan dari sebelumnya.
Masing-masing tahap terdahulu menyediakan syarat-syarat bagi tahap yang
kemudian. Gagasan tentang proses yang tak dapat diubah itu menekankan pada
kenyataan bahwa dalam kehidupan manusia terdapat kebutuhan yang tak dapat
dipenuhi; pemikiran yang tak dapat tidak dipikirkan; perasaan yang tak dapat
dirasakan; dan pengalaman yang tak dapat dialami meninggalakan bekas luka yang
tak dapat dihapus kembali (Ada, 1990 dalam Piort Sztomka).
Kemampuan
seorang penceramah panggung, yang tegas dan lugas dalam dalam menyampaikan
orasi politik perjuangan GAM, terus menambah semangat patriotik keacehan. Bukan
hanya dirasakan oleh masyarakat dewasa saja, namun sudah terdoktrinasi pada
perempuan, anak muda hingga pada anak-anak usia dini. Berdasarkan amatan
penulis di kecamatan Nisam Aceh Utara, sebagai daerah basis persembunyian
kombatan GAM Wilayah Pasee yang juga menjadi salah satu daerah tempat pelatihan
GAM. Hampir semua masyarakat dulunya mempercayai bahwa Aceh sudah merdeka, dan
psikologi anak Sekolah Dasar (SD) ingin mengenal dan bersama GAM, dari setiap
perjumpaan, anak-anak selalu bersorak “Merdeka”. Bahkan mereka lebih mengenal
bendera bitang bulan dan melupakan sang saka “Merah Putih”. Lebih lanjut mereka
sukar menyanyikan lagu “perang sabi” ketimbang
“Indonesia Raya” sebagai himne pengibaran bendera bintang bulan. Saat itu pula cita-cita
mereka ingin menjadi anggota GAM, yang begitu gagah dengan senjata AK 56 dan AK
47 nya.
Sikap patriotic,
yang secara spontan muncul dari para pemuda Aceh. Menambah rasa kepercayaan diri
oleh Hasan Tiro akan wacana kemerdekaan Aceh. Dan istilah “sibak rukok teuk” kian menjadi kenyataan. Para penceramah kondang,
berhasil mengubah konstruksi pemikiran rakyat Aceh secara verbal dan heroik. Sehingga
pergerakan GAM meluas begitu besar. Bagi Hasan Tiro, rakyat Aceh sudah sangat
modern dengan sebuah pergerakan. Karena masyarakat yang sangat modern adalah
masyarakat yang cenderung menjadi “masyarakat gerakan” (Neidhardt dan Rucht,
1991).
Strategi Dominasi
Perjuangan
GAM dengan jargon “sibak rukok teuk”
akan mencapai wacana kemerdekaan, seolah tidak begitu payah. Para kombatan
hidup dengan segala kemudahan, walaupun tidak ada kesempurnaan jika kemerdekaan
belum direbutkan. Tersebarnya senjata pada seluruh anggota GAM di seluruh Aceh,
menjadikan GAM semakin kuat dan berani, hingga mampu menguasai hampir seluruh
daerah di Aceh; GAM menguasai seluruh informasi yang dapat menghubungkan ke
seluruh daerah di Aceh; GAM juga menguasai kapital ekonomi lewat pajak nanggroe
yang jumlahnya begitu besar. Selebihya, mereka mempunyanyi dorongan inmateril (modal
sosial) dari masyarakat yang mereka tempati, membuat GAM tidak terusik dalam
menjalankan strategi dan misinya. Dominasi inilah yang menjadikan GAM semakin
susah untuk ditaklukkan oleh TNI.
Terlebih
perjuangan GAM. Hasan Tiro, juga menghubungkan dengan perjuangan ashabiyah. nyakni perjuangan membela agama
dan tanah indatu bangsa Aceh, yang
didalamnya ingin merebut kemerdekaan. Arena perjuangan kekuasaan merupakan
lingkup hubungan kekuatan antara berbagai jenis modal atau, lebih tepatnya
antara para pelaku yang memiliki jenis-jenis modal tertentu sehingga mampu
mendominasi medan perjuangan yang terkait, dan yang perjuangannya semakin
intensif meskipun nilai yang terkait dengan modal tersebut dipertanyakan, ketika
keseimbangan yang sudah ditetapkan dalam medan perjuangan yang khas untuk
reproduksi kekuasaan akan terancam (Bourdieu, 1994 dalam Haryatmoko).
Strategi
perjuangan yang diterapkan oleh GAM, sangat tergantung dengan besar kapital
yang dimiliki dan juga struktur modal dalam posisi dominan cenderung memilih
strategi mempertahankan etnonasionalisme, bentuk-bentuk kapital yang menjadi
tumpunan kekuatan. Strategi ini digunakan untuk mendominasi pelbagai tindakan.
Agar eksistensi GAM berjalan secara inklusif. Pajak nanggroe sebagai kapital
ekonomi dalam meneruskan perjuangan, menjadi taruhan utama yang harus di
pertahankan, demi menjaga kelangsungan hidup para anggota GAM.
Kemampuan
GAM mendominasi strategi bukan hanya pada kapital, strategi mendominasi dalam menguasai
sistem pendidikan, masuknya mereka dalam dunia pendidikan. Membuat para guru
menjadi ketakutan dalam mengajar berbagai mata pelajaran seperti PPKN dan
Bahasa Indonesia. Pembakaran sekolah-sekolah umum, secara masal, menutup celah
proses belajar transfer knnowlid (ilmu
pengetahuan) oleh para guru tentang keIndonesiaan dan Pancasila. Kehendak
strategi yang digunakan GAM agar generasi muda Aceh melupakan kebhinhekaan
Indonesia. Impach dari strategi
mendominasi ini mengakibatkan para guru hidup dalam sebuah tekanan mental.
Disalah satu sisi, profesi guru diamanahkan oleh undang-undang negara Republik
Indonesia. Namun, disisi yang lain mereka harus berhadapan dengan sebuah
tantangan kematian.
Dominasi
strategi perang yang digencarkan GAM, setelah berhasil masuk dalam dunia
pendidikan, siswa mulai beralih untuk belajar tentang GAM, mereka lebih senang
dengan orang yang bersenjata. Beberapa daerah di Aceh saat itu sekolah harus diliburkan,
dengan bermacam alasan nyakni, ada yang sekolahnya terbakar, guru dengan rasa
takut tak berani mengajar dan para anak-anak tidak lagi datang ke sokalah,
dengan alasan banyak kasus penculikan. Aceh terus berkecemuk dalam peperangan
sejak pemberlakuan darurat militer di tahun 2003. GAM mulai sempit dalam
pergerakan, ribuan TNI diterjunkan. Istilah “ sibak rukok teuk” dan wacana
kemerdekaan Aceh semakin tidak menentukan. Kawanan GAM biasanya berada
dipekarangan Gampong warga, saat itu berada di hutan belantara.
Menimbang Hasan
Tiro
Di
tengah perang terus berkecemuk, istilah sibak
rukok, bukan lagi sebuah harapan. Rakyat Aceh terdiam dalam peluru-peluru
nyasar, harapan kemerdekaan mulai terhapuskan. Hanya perasaan ingin damai yang
ditumbuhkan. Para korban terus berjatuhan. Namun peperangan bulum juga ada
titik terang, rasa aman dan genjatan. Terhadap Hasan Tiro yang berjanji akan
membawa Aceh pada ujung kemerdekaan, beliau berada di negeri seberang Swedia.
Kesadaran
rakyat untuk menerima kemerdekaan Aceh. rakyat mulai menimbang dengan kesadaran
kolektif, kesadaran terjelma dengan sendirinya terutama dari aktor individual.
Antonio Gidden menyebutkan “kemampuan untuk menyadari”. Manusia adalah agen
yang memiliki tujuan, mempunyanyi alasan atas aktivitasnya, dan, jika ditanya,
ia mampu menjelaskan alasannya secara terpisah, termasuk dengan kebohongannya
(Ada, 1990 dalam Piort Sztomka).
Hasan Tiro
sosok yang paling diagungkan, kini masyarakat mempertanyakan, apa keputusan dan
kebijakan yang beliau lakukan, seiring peperangan tidak kunjung selesai. Hanya
harapan kedamaian yang terlukis dihati, dibandingkan besarnya rakyat sipil yang
menjadi korban. Rakyat Aceh seolah hanya menerima harapan palsu yang dulunya
cukup di agungkan. Perjuangan Aceh, hanya sebatas perang tanpa sebuah
keberhasilan setelah menelan banyak korban. Hanya sebuah perdamaian yang
berhasil dicapai.
Setelah 30
tahun dalam keterasingan Hasan Tiro pulang, dan rakyat Aceh menyambutnya seolah
seperti seorang pahlawan. Perjuangan Hasan Tiro berujung pada sebuah
perdamaian, rakyat Aceh telah melupakan kemerdekaan, rakyat Aceh ingin hidup
dalam perdamaian. Walau harus menelan ludah yang pernah dikeluarkan. Istilah
“sibak rukok teuk” tertelan begitu saja. Neonasionalisme seolah tidak terdengar
lagi, semua elemen memperkuat barisan untuk kembali Nasionalisme keindonesiaan
sebagai idiologi yang sah dalam kesatuan NKRI. Dan Hasan Tiro pun menerima
kembali kewarganegaraan Indonesia, tepat sehari sebelum beliau meninggal dunia
di umur 84 tahun. Sejak itu pula kemerdekaan Aceh tidak lagi berkumandang dan
semua kembali pada pangkuan ibu pertiwi.
Rizki Yunanda.
No comments:
Post a Comment