Saturday, 28 October 2017

Wajah Pendidikan Aceh Digenggam Rayat Aceh


Wajah Pendidikan Aceh Digenggam Rayat Aceh
Oleh : Rizki Yunanda Mohd Yusuf
Secara kesuluruhan, aceh menjadi salah satu provinsi tertinggal masalah pendidikan di indonesia. Disatu sisi memang, aceh sebagai daerah yang baru pulih dari konflik yang berkepanjangan sudah sepantasnya bernasip demikian, Namun disisi yang lain, kita seharusnya sudah bangkit dari keterpurukan ini dalam waktu sembilan tahun usia perdamaian aceh. pada dasarnya wajah pendidikan aceh berada digenggam rakyat aceh dan menjadi tanggung jawab bersama. Seluruh steckholder, elemen sipil dan  instansi pendidikan terkait diaceh, wajib bertanggung jawab dan meleksanakan pendidikan untuk bangkit dari keterpurukan, demi mencapai mutu pendidikan yang lebih baik.
Memang, keterpurukan pendidikan di aceh dilatarbelakangi oleh banyak faktor dan permasalahan. Namun, kita tidak harus mencari siapa yang patut disalahkan sebagai pemeran dalam proses ini. Yang terpenting bagi kita saat ini adalah melakukan introspeksi pada diri masing-masing. Terkaid bagaimana peran dan fungsi kita terhadap pendidikan diaceh saat ini. Idealnya, kita wajib berfikir bahwa pendidikan aceh adalah tanggung jawab semua masyarakat aceh. apapun hambatan dan resikso wajib kita lalui demi terciptanya mutu pendidikan yang terbaik.
Representasi pendidikan aceh saat ini, mengingatkan kita pada kegagalan hasil (ujian Nasional) UN tahun 2013 dan tahun 2014, Tahun 2013 lalu, kegelapan dengan sempurna menyelimuti pendidikan di Aceh. Karena Aceh menduduki peringkat pertama memiliki siswa yang tidak lulus, yakni  sekitar 3,11 persen atau 1754 siswa, hal serupa lagi kembali terulang di tahun 2014. Jumlah peserta UN SMA/MA tahun anggaran 2014 sebanyak 1.632.757 orang. Sedangkan yang tidak lulus mencapai 7.811 orang. Provinsi Aceh menyumbang paling banyak siswa yang tidak lulus atau 785 orang untuk SMA/MA dan 62 untuk SMK.  Ini cukup membuktikan bahwa proses pendidikan di aceh, masih banyak yang harus diperbaiki dan dibenah.
            Memang, hasil UN tidak seharusnya menjadi patokan kesuksesan pendidikan, namun perlu kita ketahui bahwa hasil UN menjadi sebagai material penting dari sebuah pondasi pendidikan saat ini. Bagi generasi muda di Aceh, apa yang sudah terjadi di balik hasil UN tingkat SMA/MA/SMK di Aceh tahun 2013 dan 2014 menjadi pelajaran terpenting. Bahwa, ke depan para siswa harus berbenah bahwasanya pertarungan dan kompetisi guna meraih kesuksesan dalam UN tidak datang tiba-tiba bagaikan membalik telapak tangan. Tapi, butuh proses yang panjang kerja keras, belajar, dan terus belajar. Dikarenakan sukses UN merupakan buah dari belajar yang dilakukan secara kontinyu, serius, dan pengorbanan yang dibarengi doa.
            Pasca gempa dan glombang tsunami, 24 desember 2004. Disambut dengan kehadiran perjanjian nota kesepahaman, MOU HELSINKI 15 Agustus 2005, antara GAM dan Pemerintah RI. aceh menjadi daerah tujuan para NGO/LSM asing dalam melakukan program kemanusiaan. Khususnya bidang pedidikan. Berbagai bantuan asing tersebar diseluruh aceh untuk memperbaiki kualitas maupun kuantitas pendidikan anak-anak aceh. walau pada kenyataanya seolah-olah mereka tidak pernah menginjak kaki dibumi serambi mekkah, karena banyak program yang tidak berjalan secara maksimal. kini pedamaian aceh sudah berusia 9 tahun, namun, kualitas pendidikan aceh masih banyak yang harus diproritaskan. Khususnya, menganai anggaran yang selalu menjadi tolak ukur para pejabat dalam melaksanakan kegiatan.
            Aceh dan Papua menjadi daerah yang mendapat alokasi dana otonomi khusus, yang sewajarnya bahwa, pemberian dan penggunaan dana tersebut dapat mensuport seluruh kegiatan anggaran pembangunan daerah, khususnya kegiatan pendidikan. Pada kenyataannya penggunaan dana tersebut masih banyak yang tidak tepat sasaran. Alih-alih dari dana tersebut berujung pada mafia proyek-proyek fisik, bukan pada usaha melaksanakan kegiatan yang bersifat pendidikan formal. Kita bisa melihat indeks alokasi anggaran untuk dinas pendidikan oleh pemerintah aceh, Tahun 2010, Rp823,32 miliar, Tahun 2011, Total yang terealisasi Rp990,06 miliar atau dari pagu Rp1,05 triliun, Tahun 2012, Rp1,1 triliun, Tahun 2013, Rp400 miliar. (Dinas pendidikan mulai tidak lagi menangani pengerjaan fisik), Tahun 2014, Rp. 1,4 Triliun. (Sumber: Riset Media atjehpost.com)
Pendidikan Tanggung Jawab Manusia
            Setiap orang punya fungsi sebagai manusia. Fungsi seorang warganegara atau rakyat bisa saja bervariasi, tergantung masyarakat mana yang dimaksudkan. Sitem pelatihan, atau penyusuaian, atau pengajaran, atau pemenuhan makanan pokok juga berlainan-lainan, namun, fungsi seseorang sebagai manusia sama saja, di zaman apapun, dalam masyarakat manapun, karena fungsi itu mengemuka dari hakikatnya sebagai manusia. Sasaran sistem pendidikan juga sama di tiap abad dan di tiap masyarakat di mana sistem pendidikan itu bisa mengada: memperbaiki, meningkatkan, kemampuan manusia sebagai manusia.
Manusia dilahirkan sebagai makhluk yang punya tanggung jawab dan andil besar, hal ini sangat perlu diketahui oleh setiap manusia dalam menukani apa yang seharusnya dilakukan, untuk melengkapi menejemen pendidikan yang tidak terlepas dengan kebijakan pendidikan dan tujuan pendidikan. Untuk menuju sebuah perbaikan. Memang, perbaikan masyarakat tidak bisa dilakukan dengan cara menjejalkan suatu program pembaharuan sosial tertentu melalui sekolah atau saluran-saluran lain, perbaikan masyarakat dilakukan melalui perbaikan pendidikan individu-individu yang membentuk masyarakat itu. Seperti apa yang dikatakan Plato (429-347 SM) “pemerintah-pemerintah mencerminkan sifat manusia. Negara-negara tidak diciptakan dari batu atau kayu, tetapi dari karakter-karakter para warganya; orang-orang inilah yang menjadi tolak ukur, dan segalanya dinilai berdasarkan hakikat mereka.” Individu adalah jantung masyarakat.
Jika tujuan pendidikan adalah perbaikan manusia, maka segala sesuatu sitem pendidikan tanpa nilai-nilai adalah suatu yang muskil, dan suatu yang bertentangan dengan istilahnya sendiri, suatu sistem yang mengajar nilai-nilai yang buruk adalah sistem yang buruk. Kita perlu mengetahui bahwa tujuan pendidikan nasional telah dirumuskan melalui UU NO. 20 Tahun 2003 tentang sitem pendidikan nasional. Ada dua tujuan pendidikan nasional sebagai mana yang tersirat dalam UUD 1945. Nyakni ; pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa dan pendidikan adalah hak seluruh rakyat.
Pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa tentunya tidak hanya bertujuan untuk menjadikan bangsa indonesia sebagai bangsa kelas dua dunia modern atau hanya menjadi pekerja-pekerja dari industri-industri besar yang biayai oleh modal asing, tetapi bangsa yang cerdas adalah bangsa yang berdiri sendiri, dengan sumber daya alam, yang cukup besar kita seharusnya bisa mengelola sendiri, mengingat kita juga punya potensial yang sangat baik pula dari sumber daya manusia yang kita miliki. Bangsa yang cerdas pula bukan hanya bangsa yang hanya bangsa yang mampu bekerja, tapi bangsa yang mampu menciptakan lapangan kerja bagi orang lain. Pendidikan nasional juga  bertujuan untuk seluruh rakyat bukan hanya sebagian kecil dari masyarakat. Karena pendidikan yang demokratis bertujun untuk membangun masyarakat yang demokrasi.
Melihat sistem pendidikan aceh saat ini, yang masih penuh tanda tanya dan misteri didalamnya. Kita meminta kepada seluruh instansi terkaid, untuk terus berbenah meranjak dari keterpurukan-keterpurukan yang terus mengahantui kita. Hal yang sama juga harus diperhatikan oleh para elemen sipil masyarakat, untuk mengontrol dan mengayomi apa yang seharusnya dan sewajarnya dilakukan demi keberlanjutan pendidikan anak-anak aceh, memang untuk pencapaian prestasi kita sudah sangat besar perubahan yang berhasil kita capai, mengingat kita adalah daerah yang tertinggal. Dan sudah sewajarnya  yang kita capai itu adalah hasil dari perbaikan-perbaikan yang kita kerjakan. Mari kita asah kembali sitem pendidikan aceh saat ini, bahwa wajah pendidikan aceh berada digenggam tangan rakyat aceh sendiri, maka itu menjadi tanggung jawab kita bersama, dan mustahil diselesaikan oleh orang lain.
Rizki Yunanda Mhd Yusuf. Mahasiswa FISIP, Jurusan Sosiologi Universitas Malikussaleh, Dan Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara Angkatan IV. Email : yunandarizki56@yahoo.com/085373666233

Wednesday, 25 October 2017

Siapkah Gampong Untuk Lebih Tranparan Dan Akuntabel

             
Dua tahun berlalu, sejak disahkannya Undang-Udang No. 6 Tahun 2014. Tentang  Desa atau Gampong, sebutan untuk provinsi Aceh. Sesuai amanah Mou Helsinki gampong memiliki pengaturan secara khusus dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Lahirnya UUD Desa, gampong menjadi lebih mandiri dalam melaksanakan pembangunan. Ini terlaksana berkat peran pemerintah yang memberikan wewenang sepenuhnya untuk Gampong dalam mengelola Anggaran Pendapatan Belanja Gampong (APBG), secara mandiri yang setiap tahunnya di anggarkan oleh pemerintah pusat dan derah melalui APBN dan APBD. Hal ini telah banyak memberikan nilai positif pagi pemerintahan Gampong yang dulunya secara sentralistik di kelola oleh Kabupaten/Kota dan Kecamatan. Namun seiring berjalan, roda pemerintah gampong juga tidak luput dari permasalahan yang berujung pada sikap negatif para penguasa gampong. Sehingga tidak menutupi akan terjadinya ketidak transparansi dan akuntabilitas dalam mengelola anggaran.
            Kenyataannya, berdasarkan pemberitaan dari media yang terus mensajikan pemberitaan berbagai permasalahan yang terjadi di tingkat pemerintahan gampong. Mulai dari yang bersifat korupsi, kolusi, nepotisme dan sulitnya masyarakat dalam memperoleh informasi tentang pengelolaan dana gampong di Aceh. Padahal, di era keterbukaan informasi publik sudah seharusnya pemerintah gampong mewujudkan transparansi  dan akuntabilitas dalam mengelola keuangan gampong. Jika hal ini tidak dilakukan, besar kemungkinan akan munculnya konflik baru diantara aparat gampong dan masyarakat yang berakhir dengan sengketa pidana.
            Apalagi Sejak dibentuknya Komisi Informasi Aceh (KIA) 19 Juni 2012, sesuai UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Maka sudah seharusnya gampong mengelola keuangan secara transparan dan akuntabel, sehingga tidak akan terjadi timpang tindih atau mosi ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintah gampong. Transparansi menjadi tanggung jawab para perumus kebijakan sehingga kontrol masyarakat terhadap para pemegang otoritas pembuat kebijakan akan berjalan efektif. Mardiasmo (2004: 30) menjelaskan bahwa, transparansi dapat mencegah terjadinya monopoli kekuasaan pembuat kebijakan sebab transparansi memungkinkan sistem kawal dan imbang (cheks and balance) berfungsi dengan baik. Transparansi adalah prinsip yang menjamain akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan proses pembuatan dan pelaksanaanya serta hasil yang dicapai. Transparansi adalah adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan. Sedangkan akuntabilitas kewajiban individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya. Dan dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggung jawaban setiap aspek kebijakan pemerintah yang dapat dijangkau publik.

            Kendati sudah seharusnya perangkat gampong bersikap bijak. Karena kepercayaan pemerintah untuk mengelola dana gampong bukan diraih dengan begitu mudah. Maka dengan itu perlu penyadaran yang bersifat preventive bagi para perangkat atau oknum untuk berbenah dalam tatanan mengelola pemerintah. Dulu gampong seolah tak berdaya, namun seiring berjalan waktu kini semakin mudah untuk menuai sebuah perubahan besar dari pinggiran sesuai konsep Nawacita. Walaupun saat ini masih banyak para oknum tertentu yang belum mengerti tentang transparansi dan akuntabilitas. Sehingga maraknya praktek-praktek negative dari mereka. Inilah yang terus kita pacu kepada seluruh perangkat gampong yang ada di Aceh untuk secepatnya bangkit dari keterburukan ini untuk lebih transparan dan akuntabel. Dengan terbukanya informasi untuk seluruh masyarakat, diharapkan akan menghasilkan persaingan politik yang sehat, toleran, dan kebijakan dibuat berdasarkan preferensi publik.
Good Gavernace
            Siap atau tidaknya gampong tetap harus mengelola keuangan secara transparan dan akuntabel. Mungkin di satu sisi ini akan menjadi tantangan baru bagi para perangkat gampong. Namun, di sisi yang lain akan memberikan dampak posistif bagi pengelola pemerintah gampong untuk mengekspresikan bahwa gampong dapat mandiri dengan SDM yang mereka miliki saat ini. Dulu gampong tidak dianggap sebagai salah satu pendapatan yang strategis. Kini, saatnya bangkit bahwa gampong mampu mengelola dan dapat menghasilkan Pendapatan Asli Gampong (PAG). Melalui konsep Good Gavernace.
            Konsep good gavernace adalah satu konsep pemerintahan yang positif untuk dijalankan, tidak terlepas dari pemerintahan gampong. Sarundajang (2005 :152) menyebutlkan bahwa, tata pemerintahan yang baik atau good governance dewasa ini sedang menjadi acuan dalam mencari perbaikan organisasi sesuai dengan tuntutan reformasi. Tata pemerintahan yang baik merupakan sebuah konsep yang akhir-akhir ini dipergunakan secara teratur dalam ilmu politik, terutama ilmu pemerintahan dan administrasi publik. Konsep itu lahir sejalan dengan konsep dan terminologi demokrasi, masyarakat madani (civil society), partisipasi rakyat, hak asasi manusia dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. istilah governance menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan  politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyatnya.
            Barangkali konsep good gavernace menjadi acuan bagi para perangkat gampong untuk mewujudkan bagaimana tata kelola gampong yang lebih baik. artinya bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme dan adanya keterbukan informsi secara meluas bagi masyarakat. Sesuai yang peraturan perundang-undangan No. 101 Tahun 2000 bahwa prinsip kepemerintahan yang baik meliputi profesionalitas, akuntabilitas trasparansi, pelayanan prima demokarsi partisipatif, efesiensi dan supremasi hukum bagi seluruh masyarakat. Sehingga dapat memperkecil kecurigaan masyarakat terhadap pemerintah gampong dan mempersempit konflik nantinya. Hal ini sepenuhnya akan mewujudkan pemerintahan yang mampu menjalankan roda pemerintahan yang baik sehingga akan mewujudkan masyarakat gampong yang bersih, aman transparan dan akuntabel.
SDM Harus Memadai
            Mengelola pemerintahan bukanlah hal yang segampang dari apa yang kita pikirkan, walaupun pemerintahan setingkat gampong. Berbagai permasalahan terjadi digampong khusunya daerah pinggiran dan pedalaman, apalagi masalah pengelolaan keuangan, akan selalu menjadi isu sensitif dan buah cabiran masyarakat, karena terus menyudutkkan para perangkat kerja gampong. Sehingga ini menjadi salah satu kejadian yang patut diwaspadai oleh para perangkat. Oleh karena demikian maka, diperlukan sumber daya yang memadai untuk dipersiapkan agar mampu mengelola dan menjawab semua permasalah dengan baik dan benar.
            Maka Sudah saatnya pula, dibutuhkan peran pemuda khusunya bagi para sarjana yang keluar dari gampong menetap di kota. Kini kita harus siap untuk kembali untuk mencintai dan membangun gampong untuk perubahan dimasa yang akan datang. Karena apapun yang kita buat masyarakat gampong selalu menunggu jasa kita untuk perubahan. Cukup disayangkan bagi para pemuda generasi bangsa yang punya kemampuan dalam mengelola pemerintahan gampong jika tidak ingin mengabdi kepada bangsa.
            Harapan penulis bagi para pemuda, untuk terus berkarya, belajar dan pulang untuk membangun gampong yang bersih, aman, transparan dan akuntabel. Sehingga akan terciptanya gampong yang dapat mengeoloala pemerintah yang baik (goo gavernace). Demi mewujudkan apa yang mengjadi amanah undang-undang.
                                    Rizki Yunanda. S.Sosio, Mahasiswa Pasca Sarjana Sosiologi USU Medan, Alumni Sosiologi Fisip Unimal, Anggota KDAU Aceh Utara. Email :Rizkiyunanda56@gmail.com





Membongkar Istilah “Sibak Rukok Teuk” dan Wacana Kemerdekaan

        Pergerakan perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), terhadap pemerintah Republik Indonesia (RI). Motif Etnonasionalisme dalam merubah gagasan dasar konstruksi pemikiran rakyat Aceh. Untuk melawan, mendapatkan keadilan yang dianggap sentralistik. Istilah “Sibak Rukok Teuk Aceh Ka Merdeka” (bahasa Indonesia; Satu batang rokok lagi Aceh Akan Merdeka). Jargon yang penuh harapan Sebuah wacana transfer of sovereignty, authority. dari Pemerintah Indonesia untuk Nanggroe Aceh Merdeka, di pelopori oleh TgK. Hasan Muhammad Di Tiro, pada tahun 1976. Sebuah wacana kemerdekaan (manifesto) perjuangan politik seolah  tangan tak sampai. Pergerakan GAM berakhir dengan sebuah perdamain, dan kembali pada pangkuan ibu pertiwi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Meminjam kesaksian Hegel, dalam The Phenomenologi Of Mind “hanya dengan mengambil resiko hiduplah kebebasan dapat dicapai”. Bagaimana sosok Hasan Tiro, dengan keberanian ia mampu mempengaruhi, dan membangun sebuah konstruksi pergerakan Aceh Merdeka.
            Perubahan konstrusksi pemikiran rakyat Aceh. Yang ketika itu, mempercayai Hasan Tiro sebagai juru penyelamat dalam memimpin sebuah pergerakan (clan) etnonasionalisme. Jargon “Sibak Rukok Teuk” menjadikan sebuah intonasi bahasa yang sering terucapkan, sang pimpinan Hasan Tiro dipercaya seolah punya atau dianugerahi kekuatan ghaib sehingga akan memperoleh sebuah kemenangan sebagai raja adil, yang akan menebarkan sebuah keadilan ditengah ketimpangan sosial rakyat Aceh ketika itu. Wacana kemerdekaan Aceh, memikat sebuah harapan akan keinginan yang ditunggu oleh seluruh rakyat, sehingga istilah sibak rukok teuk perlu untuk segera terjawab.
            Menguak makna tesk sibak rukok teuk dalam implikasi yang nyata, antara istilah dan realita. Teks adalah wacana yang sudah terpateri di dalam tulisan. Ferdinand De Saussure membedakan antara langue (Bahasa) dan Parole (Wacana). Atas dasar perbedaan ini, Paul Ricoeur, mendefinisikan apa yang disebutkan wacana dengan dibedakan dari bahasa. Di dalam wacana ada empat unsur yang membentuk (Ricoer, 1986: 184): pertama, ada subyek yang menyatakan; kedua, isi pernyataan atau proposisi yang merupakan dunia atau wahana yang mau digambarkan atau dipresentasikan; ketiga, kepada siapa pernyataan itu mau disampaikan; dan keempat, terkait dengan temporalitas, artinya konteks waktu penyampaian pernyataan itu.
            Terpaterinya antara Istilah Sibak rukok teuk dan wacana kemardekaan Aceh, seolah begitu gampang. Jargon ini diciptakan oleh para pergerakan, untuk menyakinkan rakyat bahwa, perjuangan GAM dalam secepat mungkin, akan menghasilkan jerih yang manis, lepas dari NKRI. Analisis empat unsur yang disampaikan Ricoer dengan jargon sibak rukok teuk terjawab dengan sebuah hipotesis. GAM menyampaikan kepada rakyat Aceh, perjuangan mereka siap mengorbankan jiwa dan harta benda, untuk melawan dan siap berperang dengan Tentara Indonesia (TNI).
            Keberanian dan kegigihan Hasan Tiro, untuk berjanji kepada seluruh elemen masyarakat pada waktu itu. Hasan Tiro, mengisyaratkan perjuangan GAM bukan hanya sebatas perjuangan ekonomi dan sentralistik yang berakhir dengan begitu saja. Namun perjuangan GAM untuk mengembalikan Nasionalisme keacehan dan Neonasionalisme. Sejak itu pula Nasionalisme keacehan mulai tumbuh dan membekas dalam hati rakyat Aceh. Pasca pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989. Kemarahan rakyat Aceh terus terpecahkan oleh pelbagai kekejaman agresi militer TNI ketika itu, jatuhnya korban rakyat sipil, tingginya kasus penculikan dan orang hilang tanpa penyelesaian secara hukum, memuncakkan kemarahan besar rakyat Aceh untuk berpisah dari NKRI.  
            Pelaksanaan DOM, yang melibatkan puluhan batalion pasukan elit untuk menangkap sekitar 5.000 anggota GAM merupakan kampanye kontra pemberontakan terbesar sejak 1976 (Henny Lunsia, 2010). Kejatuhan korban dari rakyat sipil seakan hanya dibiarkan begitu saja. Upaya dan wacana pemahaman (verstehen) melalui penjelasan (erklaren) Hasan Tiro akan kemerdekaan Aceh, semakin solid, anggota GAM terus bertambah para warga sipil semakin menggugah untuk berpelukan dengan membantu para gerilyawan GAM demi membantu sebuah cita-cita bersama.
Idiologi Di Balik Panggung
            Ketika kekejaman aparat keamanan TNI terhadap warga sipil begitu sadis dan pilu, semangat patriotisme pemuda Aceh tumbuh dan berkembang secara frontallitas. Keinginan untuk memisahkan diri NKRI, dengan mengedepankan perjuangan Self Determination Right di hadapan dunia internasional semakin kuat dan nyata. Motif etnonasionalisme semakin mengental dengan doktrinasi untuk melupakan dan menggantikan idiologi. Aroma patriotisme kian meluas dengan cacian si PAI (Pengacau Agama Islam), dan kafee Indonesia jawa (kafir Indonesia jawa) lewat dakwah-dakwah panggung yang tersebar di setiap pelosok-pelosok Gampong saat itu.
            Dakwah panggung (ceramah) yang disampaikan oleh, para penceramah kondang yang disiapkan secara khusus oleh para petinggi GAM, mengundang ribuan audien masyarakat Aceh untuk mendengarkan, orasi politik perjuangan Aceh Merdeka, dengan harapan ingin mengubah mindset atau idiologi secara instan, agar patriotik tumbuh untuk melawan Republik Indonesia dalam proses sosialnya. Bentuk proses sosial yang mengarah (purposive) biasanya tak dapat diubah dan sering bersifat kumulatif. Setiap tahap yang berurutan berbeda dari tahap sebelumnya dan merupakan pengaruh gabungan dari sebelumnya. Masing-masing tahap terdahulu menyediakan syarat-syarat bagi tahap yang kemudian. Gagasan tentang proses yang tak dapat diubah itu menekankan pada kenyataan bahwa dalam kehidupan manusia terdapat kebutuhan yang tak dapat dipenuhi; pemikiran yang tak dapat tidak dipikirkan; perasaan yang tak dapat dirasakan; dan pengalaman yang tak dapat dialami meninggalakan bekas luka yang tak dapat dihapus kembali (Ada, 1990 dalam Piort Sztomka).
            Kemampuan seorang penceramah panggung, yang tegas dan lugas dalam dalam menyampaikan orasi politik perjuangan GAM, terus menambah semangat patriotik keacehan. Bukan hanya dirasakan oleh masyarakat dewasa saja, namun sudah terdoktrinasi pada perempuan, anak muda hingga pada anak-anak usia dini. Berdasarkan amatan penulis di kecamatan Nisam Aceh Utara, sebagai daerah basis persembunyian kombatan GAM Wilayah Pasee yang juga menjadi salah satu daerah tempat pelatihan GAM. Hampir semua masyarakat dulunya mempercayai bahwa Aceh sudah merdeka, dan psikologi anak Sekolah Dasar (SD) ingin mengenal dan bersama GAM, dari setiap perjumpaan, anak-anak selalu bersorak “Merdeka”. Bahkan mereka lebih mengenal bendera bitang bulan dan melupakan sang saka “Merah Putih”. Lebih lanjut mereka sukar menyanyikan lagu “perang sabi” ketimbang “Indonesia Raya” sebagai himne pengibaran bendera bintang bulan. Saat itu pula cita-cita mereka ingin menjadi anggota GAM, yang begitu gagah dengan senjata AK 56 dan AK 47 nya.
            Sikap patriotic, yang secara spontan muncul dari para pemuda Aceh. Menambah rasa kepercayaan diri oleh Hasan Tiro akan wacana kemerdekaan Aceh. Dan istilah “sibak rukok teuk” kian menjadi kenyataan. Para penceramah kondang, berhasil mengubah konstruksi pemikiran rakyat Aceh secara verbal dan heroik. Sehingga pergerakan GAM meluas begitu besar. Bagi Hasan Tiro, rakyat Aceh sudah sangat modern dengan sebuah pergerakan. Karena masyarakat yang sangat modern adalah masyarakat yang cenderung menjadi “masyarakat gerakan” (Neidhardt dan Rucht, 1991).
Strategi Dominasi
            Perjuangan GAM dengan jargon “sibak rukok teuk” akan mencapai wacana kemerdekaan, seolah tidak begitu payah. Para kombatan hidup dengan segala kemudahan, walaupun tidak ada kesempurnaan jika kemerdekaan belum direbutkan. Tersebarnya senjata pada seluruh anggota GAM di seluruh Aceh, menjadikan GAM semakin kuat dan berani, hingga mampu menguasai hampir seluruh daerah di Aceh; GAM menguasai seluruh informasi yang dapat menghubungkan ke seluruh daerah di Aceh; GAM juga menguasai kapital ekonomi lewat pajak nanggroe yang jumlahnya begitu besar. Selebihya, mereka mempunyanyi dorongan inmateril (modal sosial) dari masyarakat yang mereka tempati, membuat GAM tidak terusik dalam menjalankan strategi dan misinya. Dominasi inilah yang menjadikan GAM semakin susah untuk ditaklukkan oleh TNI.
            Terlebih perjuangan GAM. Hasan Tiro, juga menghubungkan dengan perjuangan ashabiyah. nyakni perjuangan membela agama dan tanah indatu bangsa Aceh, yang didalamnya ingin merebut kemerdekaan. Arena perjuangan kekuasaan merupakan lingkup hubungan kekuatan antara berbagai jenis modal atau, lebih tepatnya antara para pelaku yang memiliki jenis-jenis modal tertentu sehingga mampu mendominasi medan perjuangan yang terkait, dan yang perjuangannya semakin intensif meskipun nilai yang terkait dengan modal tersebut dipertanyakan, ketika keseimbangan yang sudah ditetapkan dalam medan perjuangan yang khas untuk reproduksi kekuasaan akan terancam (Bourdieu, 1994 dalam Haryatmoko).
            Strategi perjuangan yang diterapkan oleh GAM, sangat tergantung dengan besar kapital yang dimiliki dan juga struktur modal dalam posisi dominan cenderung memilih strategi mempertahankan etnonasionalisme, bentuk-bentuk kapital yang menjadi tumpunan kekuatan. Strategi ini digunakan untuk mendominasi pelbagai tindakan. Agar eksistensi GAM berjalan secara inklusif. Pajak nanggroe sebagai kapital ekonomi dalam meneruskan perjuangan, menjadi taruhan utama yang harus di pertahankan, demi menjaga kelangsungan hidup para anggota GAM.
            Kemampuan GAM mendominasi strategi bukan hanya pada kapital, strategi mendominasi dalam menguasai sistem pendidikan, masuknya mereka dalam dunia pendidikan. Membuat para guru menjadi ketakutan dalam mengajar berbagai mata pelajaran seperti PPKN dan Bahasa Indonesia. Pembakaran sekolah-sekolah umum, secara masal, menutup celah proses belajar transfer knnowlid (ilmu pengetahuan) oleh para guru tentang keIndonesiaan dan Pancasila. Kehendak strategi yang digunakan GAM agar generasi muda Aceh melupakan kebhinhekaan Indonesia. Impach dari strategi mendominasi ini mengakibatkan para guru hidup dalam sebuah tekanan mental. Disalah satu sisi, profesi guru diamanahkan oleh undang-undang negara Republik Indonesia. Namun, disisi yang lain mereka harus berhadapan dengan sebuah tantangan kematian.
            Dominasi strategi perang yang digencarkan GAM, setelah berhasil masuk dalam dunia pendidikan, siswa mulai beralih untuk belajar tentang GAM, mereka lebih senang dengan orang yang bersenjata. Beberapa daerah di Aceh saat itu sekolah harus diliburkan, dengan bermacam alasan nyakni, ada yang sekolahnya terbakar, guru dengan rasa takut tak berani mengajar dan para anak-anak tidak lagi datang ke sokalah, dengan alasan banyak kasus penculikan. Aceh terus berkecemuk dalam peperangan sejak pemberlakuan darurat militer di tahun 2003. GAM mulai sempit dalam pergerakan, ribuan TNI diterjunkan. Istilah “ sibak rukok teuk” dan wacana kemerdekaan Aceh semakin tidak menentukan. Kawanan GAM biasanya berada dipekarangan Gampong warga, saat itu berada di hutan belantara.
Menimbang Hasan Tiro
            Di tengah perang terus berkecemuk, istilah sibak rukok, bukan lagi sebuah harapan. Rakyat Aceh terdiam dalam peluru-peluru nyasar, harapan kemerdekaan mulai terhapuskan. Hanya perasaan ingin damai yang ditumbuhkan. Para korban terus berjatuhan. Namun peperangan bulum juga ada titik terang, rasa aman dan genjatan. Terhadap Hasan Tiro yang berjanji akan membawa Aceh pada ujung kemerdekaan, beliau berada di negeri seberang Swedia.
            Kesadaran rakyat untuk menerima kemerdekaan Aceh. rakyat mulai menimbang dengan kesadaran kolektif, kesadaran terjelma dengan sendirinya terutama dari aktor individual. Antonio Gidden menyebutkan “kemampuan untuk menyadari”. Manusia adalah agen yang memiliki tujuan, mempunyanyi alasan atas aktivitasnya, dan, jika ditanya, ia mampu menjelaskan alasannya secara terpisah, termasuk dengan kebohongannya (Ada, 1990 dalam Piort Sztomka).
            Hasan Tiro sosok yang paling diagungkan, kini masyarakat mempertanyakan, apa keputusan dan kebijakan yang beliau lakukan, seiring peperangan tidak kunjung selesai. Hanya harapan kedamaian yang terlukis dihati, dibandingkan besarnya rakyat sipil yang menjadi korban. Rakyat Aceh seolah hanya menerima harapan palsu yang dulunya cukup di agungkan. Perjuangan Aceh, hanya sebatas perang tanpa sebuah keberhasilan setelah menelan banyak korban. Hanya sebuah perdamaian yang berhasil dicapai.
            Setelah 30 tahun dalam keterasingan Hasan Tiro pulang, dan rakyat Aceh menyambutnya seolah seperti seorang pahlawan. Perjuangan Hasan Tiro berujung pada sebuah perdamaian, rakyat Aceh telah melupakan kemerdekaan, rakyat Aceh ingin hidup dalam perdamaian. Walau harus menelan ludah yang pernah dikeluarkan. Istilah “sibak rukok teuk” tertelan begitu saja. Neonasionalisme seolah tidak terdengar lagi, semua elemen memperkuat barisan untuk kembali Nasionalisme keindonesiaan sebagai idiologi yang sah dalam kesatuan NKRI. Dan Hasan Tiro pun menerima kembali kewarganegaraan Indonesia, tepat sehari sebelum beliau meninggal dunia di umur 84 tahun. Sejak itu pula kemerdekaan Aceh tidak lagi berkumandang dan semua kembali pada pangkuan ibu pertiwi.
                                                                                   
                                                                                                            Rizki Yunanda.


“Aceh” 15 dan 17 Agustus

“Jangan Tanyakan Apa Yang Negara Perbuat Untuk Anda, Tetapi Tanyakanalah Apa Yang Anda Perbuat Untuk Negara ”. Pernyataan Ini sering...